Sejarah Desa

Sejarah Desa dan Asal Usul Nama Desa Seggreng 


Dahulu wilayah Desa Senggreng masih berupa hutan belantara yang masih belum terjamah tangan manusia. Dalam bahasa jawa bisa diartikan “alas gung lewang-lewung jalmo moro jalmo mati”. Kira-kira tahun 1830-an setelah Diponegoro ditangkap belanda maka berakhir pula perlawanan tentara Diponegoro. Sejak saat itu tentara Diponegoro bercerai-cerai dan banyak yang menyingkir ke daerah timur yang masih banyak hutan lebatnya dan menyebar di berbagai tempat antara lain di wilayah Malang Jawa Timur. Mereka yang menyingkir ada yang berkelompok dan banyak pula yang sendiri. Mereka membuka hutan belantara untuk dijadikan ladang pertanian. Mereka sekaligus mendirikan tempat tinggal disekitar ladang tersebut sebagai kampung tempat tinggal. Penduduk setempat menyebut mereka sebagai orang mataram.

Hingga saat ini di daerah Kabupaten Malang masih banyak dijumpai adanya Kampung Mentaraman. Misalnya di Kecamatan Sumberpucung ada di Desa Jatiguwi dan Desa Ngebruk. Di Kecamatan Kepanjen, Donomulyo, Gondanglegi dan lain-lain ada suatu daerah yang disebut kampung mentaraman. Ada empat orang yang mempunyai peran dalam membuka hutan belantara daerah selatan Desa Ngebruk, yaitu Regunung (ayah), Trunowongso (anak), Malang joyo (keponakan), dan Kromodikoro (keponakan).

Menurut cerita setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, maka sampailah mereka berempat disuatu tempat, mereka berhenti dan mendirikan tempat peristirahatan sementara. Selama ditempat peristirahatan sambil beristirahat mereka mengamati keadaan sekitar, mereka tertarik dengan lokasi disebelah utara tempat peristirahatan, akhirnya mereka memutuskan untuk membuka daerah tersebut menjadi lahan pertanian sekaligus perkampungan dan hingga saat ini kampung tersebut terkenal dengan nama kampung mentaraman yang terdapat di desa ngebruk. Selanjutnya mereka membuka hutan daerah selatan. Mereka membagi menjadi dua. Regunung bersama Trunowongso di bagian timur (sebelah timur jalan raya senggreng ke selatan sampai kali brantas dan ke arah timur sampai ternyang), sedangkan Malangjoyo dan Kromodikoro di bagian barat (dari barat jalan raya senggreng menuju ke selatan tepi tidak sampai kali brantas). Pembagian daerah itu ditandai dengan sebuah tugu batu, hingga saat ini masih ada yakni didekat tugu batas Desa Senggreng dengan Ngebruk. Setiap selesai bekerja mereka tetap istirahat ditemoat peristirahatan semula. Lama kelamaan tempat tersebut menjadi tempat berkumpulnya penduduk sekitar untuk bersama-sama beristirahat melepas lelah sehabis bekerja. Dari kumpul-kumpul dan bertemunya mereka timbul komunikasi dan saling bertukar informasi dalam berbagai hal yang perkembangan selanjutnya mereka saling memerlukan kebutuhan masing-masing. Timbul tukar-menukar barang kebutuhan dan lama kelamaan seiring perkembangan jaman secara alami tempat tersebut berubah manjadi tempat perdagangan jual beli ataupun tukar menukar barang, dan saat ini tempat tersebut menjadi pasar ngebruk.

Asal usul kata "senggreng" berasal dari sebuah legenda yang ada di masyarakat. Dahulu kala terdapat warga yang sedang membabat hutan, kemudian mereka menemukan suatu gentong besar yang berada di atas pohon. Ketika gentong tersebut tertiup angin lalu mengeluarkan suara yang mendengung atau istilah dalam bahasa Jawanya adalah "gembrengen", maka dari itu desa ini dinamakan Desa Senggreng.

Desa Senggreng terletak di Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Desa Senggreng tiga dusun, yaitu Dusun Ngrancah, Dusun Karajan, dan Dusun Kecopokan. Dusun Kecopokan adalah salah satu bagian dari Desa Senggreng yang menjadi terkenal karena bendungannya yang menjadi tempat favorit bagi para pemancing.  Asal-usul dusun Kecokopan ini juga terkenal dengan cerita mitos yang berhubungan dengan mitos Mbah Bajing.

Mitos Mbah Bajing biasanya diceritakan oleh warga setempat secara turun-temurun. Warga setempat memiliki kepercayaan bahwa Mbah Bajing merupakan orang sakti yang berasal dari Keraton Mataran. Mbah Bajing dan istrinya, Dyah Ayu Compo mengunjungi dusun ini untuk melakukan babat alas atau membuka hutan. Pada waktu itu, wilayah dusun ini masih dalam bentuk hutan belantara tanpa penghuni satu pun dan  berada di dekat aliran Sungai Brantas. Berdasarkan cerita turun-menurun masyarakat, makam Mbah Bajing juga terletak di dusun ini. Makam tersebut diyakini membawa berkah bagi warga yang tinggal di dusun ini dan bagi siapa saja yang ingin mencari keberkahan.